Selasa, 21 Februari 2012

Cerbung : Pacaran Yuk! (1)

“Kita pacaran yuk…” ucapan Karin cukup membuat Kaizman terkejut pada sore hari yang hujan gerimis di halaman kampus mereka.

Kaizman terkekeh demi mengusir keterkejutan dari wajahnya sekaligus perasaan gemetarnya akibat dari perkataan teman kuliahnya yang tidak terlalu dekat tapi cukup dikenalnya.

“Bercanda ya?” tanya Kaizman masih sambil ketawa nyeleneh.

Karin menggelengkan kepalanya pasti, “aku serius.”

“Eh?” Kaizman tak kuasa menutupi keterkejutannya lagi. Wajahnya kali ini pongo menatap wajah temannya yang tidak terlalu cantik tapi dengan hidung dan bibirnya yang sungguh serasi hingga setiap raut wajahnya selalu terlihat manis. “Kenapa ngajak aku pacaran?”

“Karena kamu baik, ganteng, dan aku suka.” Karin menjawab dengan nada yang sama sekali bukan memuji tapi lebih seperti menjelaskan rumus fisika yang serius. “Aku belum tahu simbiosis mutualisme apa yang akan terjadi diantara kita kalau kita pacaran, tapi yang pasti aku sedang ingin berpacaran dan itu dengan kamu. Kamu juga gak lagi punya pacar kan?”

Kaizman kembali terperangah mendengar jawaban Karin yang sama sekali tidak pernah ia sangka sedikit pun bahwa kalimat dan cara bicara seperti itu akan didapatkannya dari mulut Karin. Gadis itu sebelumnya belum pernah berpacaran, Kaizman tahu karena hal itu bukan rahasia lagi bagi teman-teman kuliah mereka. Karin yang selalu ceria itu memang suka berteman dengan siapa saja tapi sama sekali tidak pernah berpacaran dengan siapa pun.

Sebelumnya memang tersiar kabar bahwa Karin, gadis yang sama sekali belum pernah berpacaran itu dan satu-satunya anggota gengnya yang belum pernah dideketin pria mana pun secara spesial ternyata tahun kemarin sudah menolak tiga pria yang nembak dia bukan hanya teman sekampusnya tapi juga yang berbeda jurusan dengannya. Tapi sore ini, tiba-tiba saja gadis itu mengajaknya berpacaran? Apa mungkin ini akibat gerimis yang tidak berhenti-berhenti sejak tiga hari yang lalu??

“Mungkin kamu kebawa suasana, Karin, jadi ngomong kamu agak aneh ya sore ini?” ucap Kaizman sambil melirik kesekeliling mereka yang basah karena gerimis. Lagi-lagi Karin menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya mantap.

“Aku memang gak menarik, tapi aku sedang mencoba berhubungan dengan seseorang yaitu kamu.”

Kaizman tertawa kecil kali ini untuk mengaburkan perasaan anehnya yang tiba-tiba membuat pipinya menyemu merah. Dia buru-buru membuang pandangannya ke pemandangan air yang turun dari langit lalu mencuri pandang kearah Karin yang ternyata juga sedang asyik memandangi rintik gerimis yang begitu indah.

“Kalo…”

“Kalau gak mau, ya gak usah…” Karin menyelak pembicaraan Kaizman lalu buru-buru membuka tasnya mengambil payung.

“Eh?” Kaizman jadi bertambah bingung, belum ia menuntaskan kalimatnya, Karin sudah menyelaknya dan seperti yang ingin pergi.

“Aku duluan ya…” Karin berpamitan lalu bergerak menembus hujan.

“Eh?” Kaizman melongok sendiri melihat Karin yang sudah berjalan menjauhinya dengan cepat.

Sore itu tak seperti biasanya Kaizman pulang sendiri dan paling terakhir dari teman-teman se-geng-nya dan tak seperti biasanya juga Karin pulang terakhir tanpa teman-temannya. Apa yang terjadi barusan seperti ingin sekali menjadi hal yang terabaikan tapi isi kepala Kaizman kini malah dipenuhi berjuta pertanyaan seputar kejadian yang baru saja terjadi.

Ia berjalan ke tempat motornya diparkirkan tanpa paying, yang ia lihat hanya jalan disepanjang langkahnya tanpa melihat sekitarnya hingga kakinya terhenti ketika sepasang sepatu kets berwarna pink menghalangi kakinya.

“Kita pacaran yuk!” suara khas Karin terdengar begitu jelas di telinga Kaizman yang saat ini berada dibawah payung yang sama dengan Karin, payung pink bercorak bunga berwarna merah senada.

Semilir angin mengajak menari poni Karin, ia berbicara tapi matanya tertuju kearah sepasang sepatunya sendiri dengan pipi yang menyemu merah.

“Yuk.” tiba-tiba saja jawaban itu mengalir dari mulut Kaizman.

Karin tidak berani mengangkat wajahnya, ia hanya tersenyum masih sambil menunduk. Kaizman hanya bisa meliat sedikit dari wajah Karin karena terhalangi poni Karin ikut tersenyum. Entah kenapa Kaizman ingin melakukan hal yang sama dengan Karin tapi yang pasti ia hanya merefkleksikan hal yang sedang dirasakannya.

“Aku anterin sampai halte, ya?” tawar Kaizman sebagai pacar Karin untuk pertama kalinya.

Karin menggelengkan kepalanya, “gak apa-apa, aku pakai jalan aja pakai payung.” Karin lalu mengelurkan jaket nya yang hanya ia gunakan jika benar-benar ia butuhkan dari tasnya.

“Pakai ini.”

“Eh?” Kaizman menuruti ketika Karin menyuruhnya memegang gagang payung nya lalu gadis itu mengenakan jaketnya pada tubuh Kaizman. Walau jadinya sangat nge-pas tapi cukup untuk melindungi Kaizman yang hanya mengenakan kaos sore itu. “T… Kamu?”

Karin hanya tersenyum lalu merebut kembali gagang payungnya dan berjalan meninggalkan Kaizman sambil melambaikan tangan kirinya yang tidak memegang gagang payung. “Bye…

Kaizman membalas lambaian tangan Karin yang segera hilang ke dalam lorong kampus, jalur lain menuju gerbang kampus melalui lorong-lorong pararel antar fakultas untuk pengguna jalan tak berkendaraan. Kampus mereka memang unik karena berada di kaki gunung Geulis, Jawa Barat, kampus negeri yang termasyur kedua setelah UI.

***

Biru Muda, nama sebuah kontrakan yang dulunya terdapat pohon beringin yang cukup rimbun didepannya tapi sekarang sudah tidak ada lagi dan hanya meninggalkan namanya saja karena sekarang nuansanya sudah modern.

“Heh? Lo pake jaket siapa? Kecil gitu?” komentar Dias yang melihat kedatangan Kaizman untuk pertama kalinya di ruang tamu. Kaizman hanya tersenyum lalu berjalan menuju tangga ke lantai dua, letak kamarnya berada.

“Woi! Kez!” Dias meneriaki temannya namun tak dibalas. Karena penasaran, ia lalu pergi menuju kamar Boy, tempat teman-temannya yang lain sedang berkumpul karena asyik bertarung PS diusia mereka yang bukan lagi SMA sebenarnya dan justru berada dipenghujung tahun terakhir masa kuliah mereka.

“Kezman aneh!” ujar Dias sembari menindihi Abun dan Rio yang berbadan kurus. Boy yang baru saja mencolok kabel charger handphone-nya tak sengaja membuat kabel PS disebelah kabel charger-nya terlepas dan mati begitu saja.

“Yaaaaaaaaaaahhh…” Abun dan Rio kompak mengeluh lalu melemparkan semua yang ada disekitar mereka kearah Boy sambil bercanda.

“Woi!! Dengerin gak sih? Kezman aneh!” Dias berusaha mendapatkan perhatian teman-temannya lagi.

“Denger, denger… Tapi itu kan hal yang biasa… Kezman aneh, emang dia juga biasanya aneh…” sahut Abun santai sambil berusaha membetulkan letak kabel PS-nya.

“Cih, lo semua gak ngerti… Emang diantara kita siapa yang paling normal selain Kaizman? Kalo gua bilang dia aneh, tentunya emang aneh beneran!” Dias menyesalkan respon teman-temannya.

“Emang anehnya apaan sih?” tanya Abun lagi yang sekarang sedang membuka tutup PS-nya lalu menutupnya kembali agar CD Soccer 2012-nya bisa berputar lagi.

“Dia pake jaket kekecilan!”

Boy, Abun dan Rio saling berpandangan. Seingat mereka, Kaizman termasuk pemerhati penampilannya dan tentu saja penampilannya selalu oke dengan pakaian yang selalu pas di tubuhnya, tidak kebesaran atau pun kekecilan. Tapi akhir-akhir ini Kaizman belum membeli jaket baru selain jaket favoritnya yang sudah agak ngatung dan bisa dibilang sudah menipis ketebalannya.

“Kayak jaket cewek!”

“Jaket cewek?” Firman yang baru saja datang dari luar dan langsung menghampiri kamar Boy bertanya bingung.

“Nah, lo kayaknya mesti tau deh itu jaket punya siapa… Lo kan seneng tuh merhatiin penampilan cewek-cewek di kampus kita.” Dias serta merta beralih kepada Firman yang tidak tahu awal cerita.

“Emang kenapa?” Tanya Firman bingung.

“Mending lo ikut kita sekarang!” Dias mendorong Firman dari belakang menuju tangga kemudian berjalan kearah kamar Kaizman diikuti oleh ketiga pria lainnya dari belakang.

Setelah Dias membuka pintu kamar Kaizman, ternyata temannya itu sedang mandi, hal itu terdengar dari kamar mandinya yang terletak didalam kamarnya. Lalu Dias pun mendapati jaket yang ia maksudkan menggantung rapih pada hanger yang menggantung di gagang lemari pakaian Kaizman.

“Lo tau jaket itu punya siapa??” Tanya Dias sambil menunjuk kearah jaket berwarha putih bersih berkapucon dan ada karet disekitar pinggangnya.

“Itu…” Firman dan yang lain ikut memperhatikan.

Jaket yang dimaksud dimiliki oleh sekelompok grup pemusik klasik di kampus mereka.

“Banyak yang punya jaket kayak gitu… Lo lupa emang itu jaket klub music klasik di kampus?” Ujar Firman seakan-akan membuat ketiga pria dibelakangnya terjungkir kebelakang saking sederhananya kalimat pertanyaan Firman alias meledek.

“Eh? Tapi itu kan jaket cewek?”

Memang jaket grup pemusik klasik di kampus mereka dibuat sesuai jenis kelamin pemiliknya sehingga pas dipakai untuk tampil dalam kegiatan sederhana dan informal supaya tetap sopan, rapih namun tetap santai dan melindungi.

“Pasti ada namanya kok…” Firman mendekati lemari pakaian Kaizman lalu memeriksa bagian tangan jaket itu. Firman tahu letak nama di jaket itu karena ia juga punya teman di grup pemusik klasik di kampus.

“Karina. Putri,” Dias, Firman, Abun, Boy dan Rio kompak menyebut nama itu.

Sesaat mereka pun terdiam. Kaizman yang baru selesai mandi nampak santai memergoki teman-temannya bersamaan dengan jaket itu.

“Kebetulan aja kan?” tanya Dias.

Kaizman mengangguk sambil memandangi jaket itu sedangkan tangan kanannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Dias terkekeh antara yakin dan tidak yakin.

Bleh, gimana ceritanya lo bisa pake jaket ni cewek?” tanya Boy yang mengambil tempat disebelah Kaizman yang sedang duduk ditengah-tengah kasurnya.

“Dia baik, kayaknya siapa pun pasti dia pinjemin kalo butuh.” Kaizman menjawab kalem. Ia lalu meraih ponselnya dari bawah bantal. Ia memeriksa apakah aka nada pesan untuknya dari Karin atau tidak. Biasanya, sepanjang pengalamannya berpacaran pastilah ia tidak pernah absen untuk mendapat pesan singkat dari pacarnya tapi untuk yang satu ini sepertinya tidak berlaku.

Mungkin dia gak punya nomor gua. Pikir Kaizman dalam hati.

“Eh,…” sebelum teman-temannya kecuali Boy keluar kamarnya, Kaizman hendak bertanya tentang nomor ponsel Karin namun kemudian ia dengan cepat teringat bahwa hal mengenai dirinya dan Karin belum ada satu pun yang tahu dan dia sendiri masih belum yakin apakah hubungannya ini sudah layak siar atau belum.

Semua teman-temannya sudah menunggunya bicara tapi kemudian Kaizman malah tertawa sambil mengatakan bahwa hari itu bukan bagiannya bersih-bersih rumah dan dia berharap agar temannya yang bertugas hari itu bersedia membersihkan bekas sepatunya yang kotor di lantai halaman rumah yang sudah jelas-jelas becek selama hujan belum berhenti.

“Gua yakin bukan itu yang mau lo tanya ke anak-anak barusan,” ujar Boy yang masih berada disampingnya dan mengeluarkan pak rokok dar kantong jeans-nya.

“Woi! Kalo mau ngerokok jangan disini… keluar deh lo!” usir Kaizman sambil bercanda. Boy pun menaruh rokoknya lagi kedalam kantongnya.

“Nih gua gak jadi…” Boy melirik Kaizman dengan yakin. “Kalo lo gak mau cerita sekarang, gak apa-apa.”

Ya, Boy paling dekat dengan Kaizman dan sering sekali menebak dengan benar mengenaikeadaan Kaizman termasuk hal yang satu ini.

“Saat ini belom,” ujar Kaizman singkat. Boy pun beranjak dari kasur Kaizman lalu mengangkat tangan.

Call me when all clear…” ucap Boy sebelum menghilang dari balik pintu kamar Kaizman.

Ya, dia masih tidak tahu atau lebih tepatnya tidak yakin dengan yang baru saja dialaminya sore itu. Mungkin saja besok Karin akan kembali seperti biasa, seorang teman tidak lebih. Mungkin yang tadi bertemu dengannya itu juga bukan Karin. Mungkin jaket itu juga bukan jaket Karin. Mungkin Karin hanya berpura-pura. Mungkin Karin sedang bertaruh dengan teman-temannya?! Pertanyaan terakhir itu sempat membuat Kaizman meras cemas.

Ah, hal seperti itu bukan urusan penting bagi Kaizman. Seandainya yang terjadi sore itu hanya pura-pura, ia pun bisa menganggap hal itu pura-pura saja atau bahkan melupakannya dengan mudah. Tapi kalau sampai ia yang dipermainkan?

Karin bukan tipe gadis seperti itu, meski pun Kaizman tidak begitu dekat dengan Karin sebelumnya tapi bisa dipastikan Karin bukanlah gadis yang jahat.

Kalau begitu mengapa Karin belum mengirimnya pesan lewat ponsel? Atau bahkan menelepon? Ah, mungkin dia sama juga belum punya nomor ponselnya. Kaizman berusaha membuat dirinya tenang diatas kasurnya yang lembut, wangi dan tentu saja empuk.

Gerimis di luar masih belum berhenti, menghantarkan Kaizman pada istirahat tidur yang cukup pulas sembari menunggu waktu shalat Maghrib dua jam lagi.

***

Karin masih berada di dalam bis menuju Kota. Karin memilih untuk tinggal bersama neneknya di kota dari pada nge-kos didekat kampus dan menjadi komuter yang memerlukan waktu minimal satu jam untuk sampai ke kampus dari rumahnya atau dari kampus ke rumahnya.

Gerimis di luar masih mengiringi perjalanannya kembali ke rumah.

“Kita pacaran yuk!” suaranya sendiri terus terngiang ditelinganya dan itu membuatnya merasa semakin bodoh.

“Yuk.” suara Kaizman kali ini membuatnya tersipu lagi tapi kemudian ia berusaha melupakan hal yang baru saja terjadi.

Aneh memang tiba-tiba saja terlintas dipikirannya untuk berpacaran, dengan Kaizman pula! Pria yang ia kenal sebagai teman kuliahnya dan yang paling penting lagi Kaizman adalah sahabat dari Dias, pria yang sudah ia sukai sejak pertama kali masuk kuliah. Mungkinkah itu berarti Kaizman hanya sebagai batu loncatan? Entahlah, semoga saja tidak karena iai memutuskan mengajak Kaizman berpacaran sama sekali tidak terlintas untuk mendekati Dias nantinya. Yang pasti setelah hari dimana ia nyaris saja tertabrak mobil, beruntung Kaizman menolongnya. Kaizman sendiri mengalami robek panjang ditangannya serta beberapa luka lain di tubuh dan wajahnya namun masih bisa tersenyum sambil mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa demi menenangkan Karin yang saat itu sangat panik. Karin ingin sekali membalas semua itu. Mungkin ia bisa membantu Kaizman mengganti perban di tangannya sebagai pacarnya?

Yah, itu adalah pikiran bodoh yang terlintas di dalam pikiran Karin. Kemudian ia melihat lagi Kaizman yang ketika sudah kesakitan di rumah sakit masih bisa memikirkan dirinya agar bisa diantarkan pulang oleh temannya yang datang paling cepat, Dias. Waktu itu Dias mengantarkan Karin sampai rumah tanpa ada suara sedikit pun kecuali ketika Karin mengucapkan terima kasih dan Dias pun membalasnya dengan ucapan “Sama-sama…”.

Berpacaran? Hal yang selama ini tidak pernah dilakukannya dan justru lebih sering ia tolak kedatangannya beberapa kali. Kini ia yang mengajak Kaizman berpacaran dengannya. Untung saja Kaizman menerimanya. Tapi, apakah memang keberuntungan jika Kaizman menerimanya??

Alunan musik instrument piano Moon River menghibur perjalanan panjang Karin pulang ke rumah. Gerimis sudah mulai berhenti namun awan mendung masih belum berkurang, mungkin hujannya masih akan bersambung hingga nanti malam.

Senin, 20 Februari 2012

(News) Kisah Terindah

Buat yang mau baca cerita cinta pertama gue yang dilombain di Bunga Aksesoris dengan judul Kisah Terindah, bisa dibaca di http://www.aksesorisbunga.com/ceritacintadetail/2011/10/15/kisah-terindah

Cerita ini bener-bener gue alami waktu SMA, cekidot! ;D

Selamat Datang Kembali !!!

Lama gak dioprek-oprek deh ni blog, nyaris dua tahun!
Tapi gak apa-apa! Selamat datang kembali!!!

Semangat baru buat nulis lagi...
Tahun kemaren gue udah nyoba masukin naskah ke dua penerbit tapi masih belum berhasil. Gue juga iseng ikut lomba Cerita Cinta Pertama yang diadain Bunga Accecoris dan alhamdulillah menang! Yeay! Dari stu gue termotivasi lagi buat lanjut nulis!

Makin hari, tulisan gue makin banyak di laptop, sayang banget kalo gak dibagi. Beberapa udah dicetak sendiri tapi kalo semuanya harus di cetak pake printer pribadi jadi boros dan gak banyak juga yang bisa baca. Heheh... Buat temen-temen yang suka baca, silahkan nikmati fantasi dan imajinasi punya saya!! Blog ini punya Annisa Yasienta, isinya cerita-cerita buatan sendiri. Ada yang pure fiksi tapi ada juga yang emang nyeritain cerita pribadi. Enjoy aja deh yah :D